Tag Archives: hujan

Cerpen: Narasi Hujan

narasi hujan

Pikiranku liar menerawang jauh menembus dari dalam ke luar kaca mobiku. Mengarah langsung ke langit. Menembus kerumunan awan hitam yang kadang menyala. Di luar kaca mobilku penuh dengan lukisan bintik-bintik air terlihat sangat menawan. Namun terkadang salah satu dari mereka meneteskan diri karena tak sanggup menahan beban bobot mereka sendiri dan jatuh ke pintu mobil. Akhirnya jatuh ke aspal jalanan ini untuk menyatu menjadi genangan.

Terperangkap dalam hujan dan kemacetan kota seperti ini memang menjadi hal yang tidak enak bagi sebagian orang. Buktinya, beberapa kali aku dengar orang membunyikan klakson abnormalnya dengan sangat keras. Entah menandakan hal ketidaksukaan pada pengemudi lain yang mengambil jalurnya, atau hanya sebagai tanda frustasi yang sudah sangat mendalam. Entahlah!

Namun, kini aku punya kesempatan untuk sedikit bermeditasi. Langit masih menjadi pusat perhatian utamaku. Muncul pertanyaan-pertanyaan mengapa langit bisa setinggi dan seluas itu. Padahal tak ada penyangga atau apapun yang menjadikannya tetap di tempatnya. Menggantung begitu saja. Malah sekarang aku diguyur air olehnya dengan begitu hebat. Sekali lagi, hebat!

Hujan masih terus turun dari langit. Padahal aku sudah berada dalam mobil hampir dua jam. Hujan sudah turun semenjak aku masih menjalani rapat dengan rekan kerjaku di kantor membahas target penjualan bulan depan. Namun hingga saat ini nampaknya belum ada tanda-tanda hujan ini akan segera berakhir.

Meditasiku berlanjut. Namun kini bukan lagi langit yang menjadi pusat perhatianku. Tiba-tiba saja wajah almarhumah Ibuku terlihat begitu jelas di kaca depan mobilku. Dengan hebatnya pikiranku membelah-belah masa lalu saat ibu masih hidup.

Saat kelulusan SMU ibu hadir ke sekolah untuk memelukku dan mengucapkan selamat atas kelulusanku. Air mataku menetes saat itu. Kubalas pelukannya dengan dekapan erat setelah kuucapkan terima kasih. Kebahagiaan terekam saat itu.

Namun, rekaman itu berganti dengan suasana yang menyesakkan dada saat pemakaman ibu. Ibu meninggal tujuh tahun lalu. Tapi wajahnya tak pernah bisa kulupakan. Kasih sayangnya pun juga begitu. Masih sangat jelas terekam bagaimana perjuangannya yang gigih melawan kanker hati selama kurang lebih 10 tahun.

Di hari terakhir perjumpaanku dengannya. Ia mengenakan seragam operasi berwarna hijau. Kuantarnya ia menuju ruang operasi. Baginya ruang tersebut adalah ruang perjuangan. Ruang siksaan. Gerbang antara kehidupan dan kematiannya. Kugenggam tangan kanannya. Menyemangatinya. Ayah berada di sebelah kiri. Menenangkan perasaannya. Aku dan Ayah menutupi perasaan gelisah dari Ibu.

Perawat memanggil Ayah untuk menemui dokter Hans di dalam ruang operasi, setelah hampir 3 jam kami menunggu di luar ruang operasi. Ayah menoleh kepadaku dengan wajah harap-harap cemas. Aku mengangguk lalu tersenyum mencoba menyuntikkan rasa tenang pada Ayah.

Ayah menemuiku dengan wajah pucat. Menceritakan kabar duka untukku dan hatiku. Mulai saat itu kami kehilangan Ibu untuk selama-lamanya.

“Allahuakbar… Allahuakbar…!” Kumandang Adzan Isya membuyarkan rekamanku.

Hujan telah berubah menjadi gerimis yang merubah sedikit tetesan-tetesan air yang ada di kaca mobilku. Sebagian menetes menuju aspal jalan. Menyatu membuat genangan. Bunyi riuh di atap mobil pun menjadi lebih terdengar syahdu seakan membentuk sebuah irama berpola. Udara dingin mulai memeluk diriku. Kumatikan AC mobilku untuk mengurangi pelukan udara dingin. Kuubah posisi duduk agar lebih nyaman.

– Deni Kurniawan (Bekasi, 1 Maret 2014)